Penambangan pasir laut yang dilakukan PT Logo Mas di daerah Rupat Kabupaten Bengkalis dinilai sangat meresahkan. Pasalnya, selain merusak ekosistem laut juga berdampak terhadap pendapatan para nelayan. PT Agro Murni diduga salah satu perusahaan yang menggunakan pasir untuk reklamasi lahannya.
GUBERNUR Riau, H Syamsuar diminta agar menghentikan aktifitas penambangan pasir laut yang dilakukan PT Logo Mas di Kecamatan Rupat Utara Kabupaten Bengkalis. Permintaan itu disampaikan Aliansi Mahasiswa Masyarakat Peduli Bengkalis (AMMPB) dalam aksi unjuk rasa yang mereka gelar di depan kantor Gubernur Riau Jalan Jendral Sudirman, Kamis (25/11/21) kemarin.
Dalam aksi itu, massa pendemo membentangkan spanduk berisikan tuntutan aksi, yakni meminta pemerintah agar mencabut izin PT Logo Mas, menghentikan aktifitas penambangan pasir laut di Rupat dan mengusut oknum yang menerbitkan izin penambangan pasir laut.
Selanjutnya meminta pemerintah agar menyelamatkan biodata terumbu karang, mengusut dugaan aliran dana dari PT Logo Mas kepada oknum pejabat pemerintah sebesar 600.000 Dollar Amerika serta menyelamatkan masyarakat dari dampak pengrusakan lingkungan.
Sekitar 13 orang massa AMMPB dengan Korlap Elmy Suhada menggelar orasinya di depan kantor Gubernur Riau dan diterima oleh perwakilan dari Pemprov Riau. Setelah menyerahkan pernyataan sikap, massa kemudian membubarkan diri sekitar pukul 11.20 WIB.
Sebelumnya, aktifitas penambangan pasir laut PT Logo Mas yang kabarnya juga digunakan untuk penimbunan lokasi PT Agro Murni di Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai itu juga sempat menjadi perhatian serius dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Pemerintah Kota Dumai diminta memberikan perhatian serius, dan mencabut izin operasional perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan CPO itu jika terbukti menggunakan pasir laut untuk menimbun lokasi perusahaannya.
" Kita dari HNSI menolak keras adanya dugaan penggunaan pasir laut untuk penimbunan di lokasi PT Agro Murni tersebut. Itu bagian dari pengrusakan lingkungan. Jika terbukti, pemerintah kita minta memberikan tindakan tegas. Cabut izin operasional mereka,” tegas Ketua DPC HNSI, Nita Ariani, SKep,Ns,Mkep.
Nita Ariani juga berharap anggota parlemen tidak melakukan pembiaran terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Melalui kewenangan yang dimiliki, DPRD bisa melakukan pemanggilan terhadap pihak perusahaan.
" Semoga anggota dewan kita juga mempunyai kepedulian terhadap nasib nelayan. Kendati pengerukan pasirnya di wilayah Bengkalis, namun penggunaannya oleh perusahaan di Dumai,” ujar Nita Ariani.
Menurut Nita Ariani, pihaknya mendapat pengaduan dari sejumlah masyarakat nelayan di Rupat Utara dan Titi Akar yang menggantungkan rezekinya dari hasil tangkapan laut. Pasca pengerukan pasir laut untuk penimbunan lokasi PT Agro Murni, hasil tangkapan nelayan jauh berkurang. Ekosistem laut juga terganggu akibat kepentingan penimbunan lokasi PT Agro Murni yang sudah berlangsung sejak Oktober 2021 lalu.
" Perlindungan terhadap nelayan diatur dalam Undang-undang Nomor 07 tahun 2016,” papar Nita Ariani.
Lebih lanjut disampaikan Nita Ariani, penambangan pasir laut dilarang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 dan direvisi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
" Dalam Pasal 35, tertulis bahwa dilarang melakukan penambangan pasir jika dapat merusak ekosistem perairan. Penting untuk di ingat, masyarakat nelayan berhak memperjuangkan hak konstitusional mereka. Hak atas lingkungan hidup dan perairan yang baik dan sehat, serta mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan nelayan,” pungkas Nita Ariani.
Dipaparkan Nita Ariani, penambangan pasir laut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut dalam waktu lama dan pemulihannya tidak bisa secara cepat dilakukan. Beberapa dampak negatif yang nyata terlihat dari penambangan pasir laut yakni meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, menurunkan kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir pantai, semakin meningkatnya pencemaran pantai, penurunan kualitas air laut yang menyebabkan semakin keruhnya air laut, rusaknya wilayah pemijahan ikan dan daerah asuhan serta lainnya.
" Termasuk meningkatnya intensitas banjir air rob, terutama di pesisir daerah yang terdapat penambangan pasir laut,” jelas Nita Ariani.
Guna mengantisipasi terjadinya dampak negatif itu, dikatakan Nita Ariani pihak pemerintah harus memiliki sikap tegas. Salah satunya, dengan tidak memberi ruang bagi perusahaan-perusahaan nakal yang tidak peduli lingkungan.
" Kehadiran investasi tentu diharapkan bisa memberi kontribusi positif bagi suatu daerah. Kalau keberadaan mereka justru hanya membuat masalah, sikap tegas mesti dilakukan oleh pemerintah,” sebut Nita Ariani.
Terakhir dikatakan Nita Ariani, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
" Penjelasan pasal ini untuk melindungi korban atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Ini untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan atau gugatan perdata,” tutup Nita Ariani.
Beberapa tahun lalu, dikutip dari sejumlah media, aktifitas PT Agro Murni diduga telah menyebabkan terjadinya penyembitan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di Kelurahan Tanjung Penyebal. Akibatnya, saat musim hujan air meluap dan merendam 14 unit rumah warga yang berada tidak berapa jauh dari bantaran Sungai Mampu. Selain itu tanaman cabe warga juga terendam dan mengakibatkan gagal panen.
KNPI Dumai beberapa waktu lalu juga pernah mengingatkan agar proses dokumen Amdal PT Agro Murni tidak dilanjutkan. Alasannya, penilaian Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) PT Argo Murni dinilai masih bermasalah. Pemerintah diminta melakukan penilaian secara transparan serta melibatkan seluruh pihak yang berkompeten.**