Politik uang menjadi penyakit dalam setiap Pemilu. Apalagi dalam masa tenang hingga pencoblosan. Istilahnya, ‘serangan fajar’. Indikasi bagi-bagi uang untuk memilih calon tertentu bakal semakin memanas. Namun ibarat memburu kentut, aromanya tercium wujudnya tak nampak.
SERANGAN Fajar seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019, dimana masyarakat disebutkan memandang pesta demokrasi sebagai ajang "bagi-bagi rezeki".
Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya. Praktek politik uang telah menjadi benalu atau racun dalam kehidupan demokrasi.
Indonesia menurut survei Eurasia berada di nomor tiga tertinggi praktik politik uang. Dan sesuai kesaksian, ‘serangan fajar’ menjadi efektif untuk meraih suara. Di mana dari 100 orang pemilih, 30 orang akan memilih peserta pemilu yang memberikan uang.
Politik uang itu bermetamorfosa dalam berbagai istilah. Tidak ada yang secara spesifik menyampaikan politik uang, mereka membungkusnya dengan dalih uang bensin, uang transport dan lainnya. Namun, itu tetap bagian dari kecurangan.
Suara rakyat selaku pemilik kedaulatan dalam melahirkan pemimpin berkualitas dan berintegritas, harus pupus oleh politik uang. Rasionalitas pemilih menjadi hilang, berganti sikap pragmatis. Pilihan tergantung siapa yang memberi uang atau barang. Tidak ada lagi rasionalitas untuk memilih pemimpin terbaik yang memiliki kapasitas, integritas dan spiritualitas/moral yang terpuji.
Tidak hanya dari sisi masyarakat, di kalangan politisi “serangan fajar” juga telah membangun tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah untuk mengalahkan rivalnya pada pemilihan. Akhirnya kondisi tersebut memunculkan pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongannya. Bukan kepentingan masyarakat yang memilihnya.
Calon legislatif atau partai politik yang menggunakan politik uang untuk menarik suara, dikhawatirkan memiliki perhitungan dagang ketika terpilih nantinya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatan. Salah satunya mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Banyak kalangan politisi yang melakukan kecurangan dan akhirnya terjebak kasus suap, gratifikasi dan korupsi. Tidak heran, jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.
Sudah bukan rahasia, di Pemilu 2024 ini politik uang juga dilakukan secara terang-terangan. Bahkan menggunakan sistem paket dalam menentukan pilihan. Rp200 hingga Rp500 ribu sudah menjadi nominal standar yang diberikan. Pemilih kemudian diminta mencoblos Caleg kabupaten/kota, provinsi dan DPR RI, sesuai arahan pemberi uang. Caleg yang berpolitik uang adalah sosok yang tak percaya diri. Dan sudah pasti tidak amanah.
Namun, memang bukan semua masyarakat yang menjual harga dirinya dalam ‘serangan fajar’. Yang menerima pun lebih karena alasan perut. Karena itu, perhatian juga harus diarahkan kepada pemerintah daerah yang dituntut mampu mengatasi pengangguran dan rakyat miskin. Di sanalah akar masalah sebenarnya.
Selain itu, pendidikan politik menjadi hal penting dan harus dijalankan semua pihak. Di samping, penegakan hukum juga dilakukan lembaga berwenang. Dengan begitu, demokrasi di Indonesia bisa lebih jernih kedepannya.
Pemilihan umum akan menentukan nasib pemerintahan selama 5 tahun. Sering didengar, bahwa 5 menit di TPS akan menentukan nasib 5 tahun. Rakyat jangan sampai mau menukar masa depan bangsa dengan sembako atau uang yang tidak seberapa.
Masyarakat mesti menyadari, terlibat politik uang sama saja telah menggadaikan nasib selama lima tahun dengan harga yang sangat murah. Misalkan menerima amplop berisi Rp300 ribu untuk memilih orang yang tidak berintegritas, artinya suara rakyat hanya dihargai Rp60 ribu per tahunnya, atau Rp164 perak per harinya.
Sementara mereka bakal meraup ratusan juta hingga milyaran rupiah per tahunnya. Dengan asumsi gaji serta tunjangan Rp50 juta/ bulan untuk DPRD kabupaten/kota, setiap tahun pundi-pundinya bertambah Rp600 juta atau Rp3 milyar selama 5 tahun menjabat wakil rakyat. Sungguh perbandingan yang sangat ironi sekali... (*)
Catatan
Faisal Sikumbang
Praktisi Media